Rabu, 29 Januari 2014

Pegertian atau definisi pajak

Pajak itu bermacam-macam para pakar perpajakan mengemukakanya berbeda satu sama lain dari waktu ke waktu, meskipun demikian pada dasarnya memiliki tujuan yang sama yaitu untuk merumuskan pengertian pajak sehingga mudah dipahami.

pengertian pajak, yang salah satu pengertian itu dinyatakan oleh R, Santoso Brotodiharjo dalam bukunya Pengantar Ilmu Hukum Pajak yang dirangkum oleh Waloyu dalam bukunya Perpajakan Indonesia yang berbunyi sebagai berikut :

 
“Pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan, dengan tidak mendapat prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk, dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung dengan tugas Negara untuk menyelenggarakan pemerintahan”. (Waluyo, Perpajakan Indonesia, Edisi Kelima, Salemba Empat, Jakarta, 2005, Hal 2)

Sebagai satu perbandingan akan diuraikan pengertian pajak menurut Rochmat Soemitro, Prof, Dr, S.H.  adalah sebagai berikut :

“ Pajak adalah iuran rakyat kepada Negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak dapat jasa timbal balik (konsentrasi), yang langsung dapat ditunjukan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum”.
Landasan Hukum Pajak
Landasan hukum pemerintah dalam memungut pajak adalah sebagai berikut.
    Pasal 23 Ayat 2 UUD 1945 yang menyatakan bahwa segala pajak untuk keperluan negara berdasarkan undang-undang.


    Undang-undang perpajakan yang disempurnakan dan berlaku sejak Januari 2001 adalah sebagai berikut :
a) Undang-undang Nomor 16 Tahun 2000 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
b) Undang-undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan (PPh)
c) Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa (PPn) serta Pajak tentang Penjualan atas Barang Mewah (PPn BM)
d) Undang-undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
e) Undang-undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang Pajak Bumi dan Bangunan dan Keputusan Menteri Keuangan No 201/ KMK.04/ 2000 tentang Penyesuaian Besarnya NJOPTKP sebagai Dasar Penghitungan Pajak Bumi dan Bangunan
f) Undang-undang Nomor 13 Tahun 1985 dan Peraturan Pemerintah No.24 Tahun 2000 tentang Bea Materai
    Salah satu, aspek yang penting dalam hukum perpajakan adalah wewenang fiskus (petugas pemungut pajak) dalam memungut pajaknya dari masyarakat. Hal ini dapat juga disebut sebagai asas-asas pajak atau asas dalam pengenaan pajak. Asas-asas ini terdiri dari :
    1. Asas Status :
1. Asas Domisili (Domicile Principle). Contohnya, seperti yang dianut di Indonesia. Orang yang telah menetap atau berdomisili di Indonesia melebihi waktu 183 hari dalam 12 bulan dapat dikenakan pajak di Indonesia.
2. Asas Kewarganegaraan. Pengenaan pajak yang didasarkan pada kewarganegaraannya. Asas ini tidak dianut oleh Indonesia. Contohnya, seperti yang dianut oleh Amerika Serikat dan Filipina. Dimanapun wrga negara AS dan Filipina berada, mereka dapat dikenakan pajak oleh negara mereka.
2. Asas Sumber ( Source Principle) : menurut asas ini, suatu negara berwenang mengenakan pajak atas penghasilan yang bersumber dari negara tersebut. Contohnya, seperti produser film dari India yang melakukan syuting atau membuat film di Indonesia dapat dikenakan pajak penghasilan atas film yang dibuatnya di Indonesia. Contoh lainnya, seorang konsultan IT dari Singapura yang datang ke Indonesia, penggantian imbalan atau pembayaran atas jasanya tersebut dapat dikenakan pajak di Indonesia.
    Asas-asas ini akan dibicarakan lebih lanjut dan merupakan dasar pengenaan dalam pajak internasional atau penghindaran pajak berganda antar negara-negara.
    Hukum pajak dibedakan menjadi 2, yaitu hukum pajak material dan hukum pajak formal. Hukum pajak material memuat tentang pertanyaan APA, SIAPA, dan BERAPA. Contoh hukum pajak material adalah UU PPh (Pajak Penghasilan) dan UU PPN (Pajak Pertambahan Nilai). Hukum pajak formal memuat tentang ketentuan-ketentuan dalam hukum pajak material dan contohnya terdapat pada UU KUP (Ketentuan Umum Perpajakan). Pertanyaan dalam hukum pajak formal, mengenai BAGAIMANA mewujudkan hukum pajak material.
    Hukum Pajak Material
    Hukum pajak material dapat juga disebut sebagai ketentuan material dalam perpajakan. Berarti, mengatur hal-hal secara materi dalam perpajakan. Siapa yang dikenakan pajaknya atau siapa subjek pajaknya. Apa objek yang dikenakan pajaknya. Berapakah besar tarif pajaknya dan besarnya pajak yang terutang. Berikut ini merupakan contoh-contoh hukum pajak material secara rinci, diantaranya :
    * UU No. 17 tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan
* UU No. 18 tahun 2000 tentag Pajak Pertambahan Nilai Barang Dan Jasa dan Pajak Atas Penjualan Barang Mewah (PPN dan PPnBM)
* UU No. 12 tahun 1994 tentang Pajak Bumi Dan Bangunan (PBB)
* UU No. 13 tahun 1985 tentang Bea Materai
* UU No. 34 tahun 2000 tentang Pajak Daerah Dan Retribusi Daerah
* UU No. 20 tahun 2000 tentang Bea Perolehan Hak Atas Tanah Dan Bangunan.
    Hukum Pajak Formal
    Dalam hukum pajak formal, diatur mengenai ketentuan bagaimana pelaksanaan atau cara untuk mewujudkan hukum pajak material menjadi kenyataan. Dapat dikatakan bahwa hukum pajak material mengatur pajak secara materinya, sedangkan hukum pajak formal adalah ketentuan pajak secara formalnya atau dalam ketentuan-ketentuannya. Berikut ini merupakan undang-undang yang memuat hukum pajak formal, yaitu :
    * UU No. 16 tahun 2000 tentang Ketentuan Umum Dan Tatacara Perpajakan (UU KUP)
* UU No. 19 tahun 2000 tentang Penagihan Pajak Dengan Surat Paksa (UU PPSP)
* UU No. 14 tahun 2002 tentang Pengadilan Pajak
    Salah satu, contoh umumnya dalam hukum pajak formal adalah mengenai seseorang yang menjadi Wajib Pajak (WP). Hal ini diatur dalam UU KUP. Seseorang WP dalam UU Kup diatur mengenai cara-cara yang dia tempuh dalam membayar pajaknya. Dimulai dari mendaftarkan diri ke KPP (Kantor Pelayanan Pajak) setempat untuk mendapatkan NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak). Kemudian, bagaimana WP menyetorkan pajaknya dengan SSP (Surat Setoran Pajak) ke bank dan melaporkan SPT (Surat Pemberitahuan) ke KPP. Semua hal mengenai sistem dan prosedur pajak akan dibahas dalam hukum pajak formal yang tercantum dalam UU KUP. Selain itu, UU KUP dapat dikatakan sebagai induk atau dasar dari ketentuan-ketentuan pajak yang berlaku di Indonesia. Mengenai sistem dan prosedur pajak akan dibahas lebih lanjut dalam postingan yang akan datang.
Istilah-istilah Dalam Perpajakan



   
(1)   Pajak
Iuran rakyat kepada kas Negara berdasarkan Undang-Undang (yang dapat di paksakan) dengan tiada mendapat jasa timbale (kontraprestasi) yang dapat di tunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum.

(2)   Wajib Pajak
Orang pribadi atau badan meliputi membayar pajak, pemotongan pajak dan pemungutan pajak yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perUndang - Undangan Perpajakan .

(3)   Badan
Sekumpulan orang dan atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi : Perseroan Terbatas, Perseroan Komaditer, dalam bentuk apapun, Firma Kongsi, Koperasi, Dana Pensiun, Persekutuan atau organisasi lain, lembaga dan bentuk lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.

(4)        Pengusaha
Orang pribadi atau badan dalam bentuk apapun yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya menghasilkan barang, mengimpor barang, mengekspor barang, melakukan perdagangan, memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar daerah PABEAN, melakukan usaha jasa atau memanfaatkan dari luar daerah PABEAN

(5)        Pengusaha Kena Pajak ( PKP )
Pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak ( BKP ) dan atau penyerahan Jasa Kena Pajak ( JKP ) yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang Pajak Pertambahan Nilai ( PPn )tahun 1984 dan perubahannya

(6)        Nomor Pokok Wajib Pajak ( NPWP )
Nomor yang diberikan kepada wajib pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan yang di pergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas wajib pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakan.
                                                                  
(7)        Massa Pajak
Jangka waktu yang menjadi dasar bagi wajib pajak untuk menghitung, menyetor, dan melaporkan pajak terhutang dalam 1 ( Satu ) jangka waktu tertentu sebagai mana di tentukan dalam Undang-Undang.

(8)        Tahun Pajak
Jangka waktu satu tahun kalender kecuali wajib pajak menggunkan tahun buku yang tidak sesuai dengan kalender.

(9)        Pajak Yang Terutang
Pajak yang harus dibayar pada suatu saat, dalam masa pajak, dalam tahun pajak atau dalam bagian tahun pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perUndang-Undangan yang berlaku.

(10)    Surat Pemberitahuan
Surat yang oleh wajib pajak digunakan untuk melaporkan perhitungan dan atau pembayaran pajak, objek pajak dan atau bukan objek pajak dan atau harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan per-Undang-undangan.

(11)    Surat Pemberitahuan Masa
Surat Pemberitahuan untuk suatu masa pajak.

(12)    Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT Tahunan )
Surat pemberitahuan untuk satu tahun pajak atau bagian tahun pajak serta SPT Tahunan merupakan  formulir yang diisi oleh wajib pajak untuk kewajiban perpajakannya yang berisi antar lain :

 Penghasilan Wajib Pajak
 Jumlah Pajak yang Dibayar
 Jumlah Pajak yang telah dipungut /dipotong
 Harta dan kewajiban
 
(13)    Surat Setoran Pajak ( SSP )
Bukti pembayaran atau penyetoran pajak yang telah dilakukan dengan menggunakan formulir atau lebih dilakukan dengan cara lain ke kas Negara melalui tempat pembayaran yang ditunjuk oleh menteri keuangan.

(14)    Penanggung Pajak
Orang pribadi atau badan yang bertanggung jawab atas pembayaran pajak,termasuk wakil yang menjalankan hak dan memilih kewajiban wajib pajak sesuai dengan ketentuan peraturan Perundang-Undangan perpajakan.

(15)    Pembukuan
Suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk mengumpulkan data informasi keuangan yang meliputi harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta jumlah harga perolehan dan penyerahan barang atau jasa, yang ditutup dengan menyusun laporan keuangan berupa neraca,dan laporan laba rugi untuk periode tahun pajak.
Tarif Pajak
 Sedangkan cara pemungutan pajak atau sistem penetapan tarif pajak terdiri dari empat cara, yaitu :
1.    Tarif Pajak Proporsional (sebanding) adalah tarif pajak dengan menggunakan prosentase yang tetap untuk setiap dasar pengenaan pajak.
2.    Tarif Pajak Degresif (menurun) adalah tarif pajak dengan menggunakan prosentase yang menurun untuk setiap dasar pengenaan pajak.
3.    Tarif Pajak Konstan (tetap) adalah tarif pajak yang tetap untuk setiap dasar pengenaan pajak atau besarnya pajak yang dibayarkan jumlahnya tetap.
4.    Tarif Pajak Progresif (menaik) adalah tarif pajak dengan prosentase yang semakin meningkat untuk setiap dasar pengenaan pajak.
5.    Tarif Pajak Regresif (menurun) adalah tarif pajak dengan menggunakan prosentase yang menurun untuk setiap dasar pengenaan pajak, tetapi penurunannya sedikit-sedikit.

Cara Menghitung Pajak
Sistem perpajakan adalah cara yang digunakan oleh pemerintah untuk memungut atau menarik pajak dari rakyat dalam rangka membiayai pembangunan dan pengeluaran pemerintah lainnya.

Besarnya Pajak Penghasilan dihitung berdasarkan PKP (Penghasilan Kena Pajak) danPenghasilan Kena Pajak (PKP) = Penghasilan persih pertahun – Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)

Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan nomor 137/PMK.03/2005 ditetapkan tanggal 30 Desember 2005, tentang Penyesuaian besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak, yaitu:
(1)    Besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak disesuaikan menjadi sebagai berikut :
    a.    Rp. 13.200.000,00 (tiga belas juta dua ratus ribu rupiah) untuk diri Wajib Pajak Orang Pribadi;
    b.    Rp. 1.200.000,00 (satu juta dua ratus ribu rupiah) tambahan untuk Wajib Pajak yang kawin;
    c.    Rp. 13.200.00,00 (tiga belas juta dua ratus ribu rupiah) tambahan untuk seorang istri yang penghasilannya digabung dengan penghasilan suami;
    d.    Rp. 1.200.000,00 (satu juta dua ratus ribu rupiah) tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat, yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak (3 (tiga) orang untuk setiap keluarga.

(2)    Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mulai berlaku sejak Tahun Pajak 2006.
Tarif Pajak Penghasilan
Menurut UU Nomor 17 tahun 2000, Tarif Pajak yang ditetapkan atas penghasilan wajib pajak perseorangan (orang pribadi) :

Penghasilan Kena Pajak (PKP)    Tarif Pajak
•    Sampai dengan Rp. 25.000.000,00
•    Di atas Rp. 25.000.000, – Rp. 50.000.000,
•    Di atas Rp. 50.000.000, – Rp. 100.000.000,
•    Di atasRp.100.000.000, – Rp. 200.000.000,
•    Di atas Rp. 200.000.000,   
5 %
10 %
15 %
25 %
35 %

Sedangkan wajib pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap adalah :

Penghasilan Kena Pajak (PKP)    Tarif Pajak
•    Sampai dengan Rp. 50.000.000,
•    Rp. 50.000.000,00 – Rp. 100.000.000,
•    Di atas Rp. 100.000.000,00   
10 %
15 %
30 %

c.  Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah.
Tarif PPN dan PPn BM
Menurut Pasal 7 UU nomor 18 tahun 2000, tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah :
1.    Tarif Pajak Pertambahan Nilai adalah 10% (sepuluh persen).
2.     Tarif Pajak Pertambahan Nilai atas Ekspor Barang Kena Pajak adalah 0% (nol persen).
3.    Dengan Peraturan Pemerintah, tarif pajak dapat diubah serendah-rendahnya 5% (lima persen) dan setinggi-tingginya 15% (lima belas persen).
Sedangkan Tarif Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPn BM), menurut Pasal 8, adalah :
•     Tarif Pajak Penjualan Atas Barang Mewah serendah-rendahnya 10% (sepuluh persen) dan setinggi-tingginya 75% (lima puluh persen).
•    Atas ekspor barang kena pajak yang tergolong mewah dikenakan pajak dengan tarif 0% (nol persen).
•    Dengan Peraturan Pemerintah ditetapkan kelompok barang kena pajak yang tergolong mewah yang dikenakan PPn BM.
•    Prinsip dan Sistem Pemungutan Pajak
•    Posted on 29 September 2011 by Mas Say Laros
•    Prinsip Pemungutan Pajak
•    Ada banyak prinsip-prinsip atau justifikasi (alasan) suatu negara dalam memungut pajak. Pertanyaannya seperti mengapa kita harus membayar pajak? Apa alasan negara dalam memungut pajak? Berikut ini macam-macam asas pemungutan pajak dari falsafah hukum, diantaranya yaitu :
•    1. Teori Asuransi : negara sebagai suatu perusahaan asuransi yang menjamin bagi penduduk.
2. Teori Kepentingan : penduduk negara mempunyai kepentingan dari pajak yang dipungut oleh pemerintahnya.
3. Teori Bakti : penduduk yang berbakti dan bagian dari suatu negara sehingga harus membayar pajak.
4. Teori Pembangunan : pajak yang dipungut untuk pembangunan.
•    Salah satu, asas yang terkenal atau umum dalam dunia perpajakan adalah four canons. Istilah ini berasal dari Adam Smith ( 1723-1790), seorang bapak ekonomi klasik yang tertuang dalam bukunya The Wealth of Nations. Berikut ini 4 kaidah atau four canons atau four maxims yang dikatakannya :
•    1. 1. The subjects of every state ought to contribute to towards the support of the government, as nearly as possible, in proportion to the their respective abilities; that is, in proportion to the revenue which yhey respectively enjoy under the protection of the state.
2. 2. The tax which each individual is bound to pay ought to be certain and not arbitrary. The time of payment, the manner of payment, the quantity to be paid ought all to be clear and plain to the contributor, and to every other person . . .
3. 3. Every tax ought to be levied at the time, or in the manner, in which it is most likely to be convenient for the contributor to pay it. . .
4. 4. Every tax ought to be contrived as both to take out and keep out of the pockets of the people as little as possible, over and above what it brings into the public treasury of the state . . .
•    Inti dari keempat kaedah tersebut masing-masing adalah equality, certainty, convenience, dan efficiency.
•    Equality berarti keadlian. Semua rakyat atau penduduk suatu negara merasakan suatu keadilan dan mendapatkan porsi yang adil merata secara keseluruhan. Pajak yang dikenakan bagi masyarakat dikenakan dengan adil sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya masing-masing.
•    Certainty adalah kepastian bagi masyarakat mengenai besaran pajak yang dikenakannya. Wajib Pajak harus tahu dengan pasti berapakah besaran pengenaan pajaknya, objek –objek yang dikenakan pajak, kapan harus dibayar dan tarif pengenaan pajaknya. Hal ini berhubungan dengan undang-undang yang mengaturnya. Jadi, pajak yang dikenakan oleh pemerintah atau negara harus dengan pasti berdasarkan pada undang-undang mengenai ketentuannya.
•    Convenience berarti kenyamanan. Dalam memungut pajak, hendaknya memperhatikan atau di saat-saat yang nyaman bagi Wjib Pajak. Contohnya, memungut pajak saat seorang Wajib Pajak baru saja memperoleh penghasilan dimana dia mampu untuk membayar pajaknya.
•    Efficiency berarti efisien. Dalam pemungutan pajak yang dilakukan pemerintah harus efisien atau hemat. Prinsipnya adalah besarnya biaya dalam memungut pajak tidaklah melebih penghasilan dari pajak yang diperoleh.
•    Ada 3 Sistem Pemungutan Pajak
•    1. Self-Assessment System
•    Sistem ini diberlakukan di Indonesia. Wajib Pajak menghitung, menyetor, dan melaporkan pajaknya sendiri. Intinya, pajak yang dipungut melalui usaha atau kerja dari Wajib Pajak itu sendiri atau dengan kata lain Wajib Pajak sendirilah yang melakukan pembayaran pajaknya. Di Indonesia, caranya seperti berikut : Wajib Pajak menghitung berapa besarnya Pajak Penghasilan yang dia miliki, kemudian memungut besarnya pajak milikinya tersebut, kemudian membayarkan ke Bank yang tunjuk sebagai penerima pembayaran pajak. Hal yang paling penting adalah melaporkan pajaknya dengan media SPT (Surat Pemberitahuan) ke Kantor Pajak. Untuk lebih lengkapnya akan dijelaskan pada postingan yang akan datang mengenai sistem dan prosedur pajak.
•    2. Official Assessment System
•    Sistem ini memberlakukan pemungutan pajak yang dilakukan oleh fiskus (petugas pemungut pajak). Dalam sistem ini, pemungutan pajak dilakukan oleh pemerintah, jadi yang menghitung dan memungut besaran pajak dari masyarakat adalah petugas negara atau dilakukan oleh pihak negara.
•    3. Withholding Tax System
•    Pemungutan dan pemotongan pajak dalam sistem ini dilakukan oleh pihak ketiga selain negara dan Wajib Pajak sendiri. Contohnya, dapat kita lihat pada pemungutan Pajak Penghasilan Orang Pribadi yang bekerja sebagai karyawan suatu perusahaan. Perusahaan biasanya, BUMN akan memotong dan memungut pajak dari penghasilan bulanan yang dimiliki pegawainya. Dalam hal ini, perusahaan sebagai pihak ketiga. Sistem ini juga berlaku di Indoenesia terutama pada kantor-kantor BUMN.
Pungutan Resmi Selain Pajak

1.    Retribusi
          adalah pungutan yang dilakukan sehubungan dengan sesuatu jasa atau fasilitas yang diberikan oleh pemerintah secara langsung dan nyata kepada pembayar.
2.    Cukai
        adalah pungutan resmi dikenakan atas barang-barang tertentu yang sudah ditetapkan oleh pemerintah.
3.    Bea Materai
        adalah pungutan yang dikenakan atas dokumen dengan menggunakan benda materai.
4.    Bea Ekspor dan Bea Impor
         Bea Ekspor adalah pungutan resmi kepada eksportir yang akan mengekspor barang dagangannya keluar negeri, berdasarkan tarif yang sudah ditentukan bagi masing-masing golongan barang. Sedangkan Bea Imporadalah pungutan terhadap importir saat mengimpor barang dari luar negeri.
5.    Lain-Lainnya...
          Lain - lain pungutan yang sah/ legal berupa sumbangan wajib, misalnya SWDKLLJ (Sumbangan Wajib Dana Kecelakaan Lalu Lintas Jalan) dan SWPJ (Sumbangan Wajib Perbaikan Jalan).
jenis jenis pajak dan penjelasanya
 Jenis jenis pajak menurut direktorat jendaral pajak indonesia :
1.pajak pph atau pajak pengahsilan
2.pajak bumi dan banguana atau PBB
3. BM atau bea materai \
4.pajak pertambahan nilai atau  PPN dan pajak atas penjualan barang mewah atau  PPNBM
5.bea perolehan hak tanah atau bangunan atau BPHTB
(suber data dari webdirektorat jendral pajak )
 Dari garis garis  besar  atas semua  jenis jenis pajak yang ada adalah sebagai berikut :
jenis jenis pajak dibedakan menjadi 3 bagian yaitu :
1.berdasarkan pihak yang menanggung dibagi menjadi 2 adalah pajak langsung dan juga pajak tidak langsung
2. berdasarkan pihak yang memungut pajak dibagi menjadi dua yaitu pajak negara dan juga pajak daerah
3.berdasarakan sifatnya dibagi menjadi dua yaitu pajak obyektif dan juga pajak subyektif

Sebenarnya jenis jenis pajak itu sangat banayk sekali diantaranya digolongkan sebagai berikut :
A.Jenis pajak berdasarkan pihak yang menanggung:
1.Pajak Langsung adalah pajak yang pembayarannya dimana harus ditanggung sendiri oleh wajib pajak dan tidak dapat atau tidak bisa dialihkan kepada pihak lain.
    Contoh pajak langsung adalah  : PPh, PBB.
2. Pajak Tidak Langsung, adalah pajak yang     pembayarannya dapat dialihkan kepada pihak lain.
    Contoh : Pajak Penjualan, PPN/.pajak pertambahan nilai , PPn-BM/pajak penjualan atas barang mewah , BeaMaterai(BM) dan Cukai.
B. Jenis pajak berdasarkan pihak yang memungut:
1.Pajak Negara , adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat.
    Pajak pusat merupakan sumber penerimaan negara indonesia .
    Contoh : PPh/pejak penghasilan ,PPN/pajak pertambahan nilai , PPn dan Bea Materai/ pajakpenjualan atas barang mewah  . 
2.Pajak Daerah, adalah pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah.
Pajak daerah merupakan salah satu sumber     penerimaan pemerintahan daerah.
Contoh : Pajak tontonan, pajak reklame, PKB (Pajak  Kendaraan Bermotor/PKB) PBB/pajak bumi dan
bangunan,Iuran kebersihan,, Retribusi parkir, Retribusi  galian pasir dan lainya .
 C. Jenis pajak berdasarkan sifatnya:
1. Pajak Subjektif, adalah pajak yang memperhatikan kondisi  keadaan sang wajib pajak itu sendiri . Dalam ini penentuan dalam besarnya pajak harus ada alasan objektif yang berhubungan erat dalam kemampuan membayar wajib pajak/sipembayar pajak .
  Contoh : PPh/pajak pengahsilan .
2. Pajak Objektif, adalah pajak yang dinilai  berdasarkan  objektifitasnya dan tanpa diperhatikanya  keadaan diri sang wajib pajak. Contoh : PPN/pajak pertmabahan nilai , PBB/pajak bumi dan bangunan , PPn-BM/pajak atas penjualan barang mewah .

 Dari penjelasan diatas maka skmema/garis garis besar  atas semua  jenis jenis pajak tersebut adalah sebagai berikut :
jenis jenis pajak dibedakan menjadi 3 bagian yaitu :
1.berdasarkan pihak yang menanggung dibagi menjadi 2 adalah pajak langsung dan juga pajak tidak langsung
Pajak bumi dan bangunan (PBB) adalah pajak yang dipungut atas tanah dan bangunan karena adanya keuntungan dan/atau kedudukan sosial ekonomi yang lebih baik bagi orang atau badan yang mempunyai suatu hak atasnya atau memperoleh manfaat dari padanya. Dasar pengenaan pajak dalam PBB adalah Nilai Jual Objek Pajak (NJOP). NJOP ditentukan berdasarkan harga pasar per wilayah dan ditetapkan setiap tahun oleh menteri keuangan.
Besarnya PBB yang terutang diperoleh dari perkalian tarif (0,5%) dengan NJOP . Nilai Jual Kena Pajak ditetapkan sebesar 20% dari NJOP (jika NJOP kurang dari 1 miliar rupiah) atau 40% dari NJOP (jika NJOP senilai 1 miliar rupiah atau lebih). Besaran PBB yang terutang dalam satu tahun pajak diinformasikan dalam Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT).
Wajib pajak PBB adalah orang pribadi atau badan yang memiliki hak dan/atau memperoleh manfaat atas tanah dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas bangunan. Wajib pajak memiliki kewajiban membayar PBB yang terutang setiap tahunnya. PBB harus dilunasi paling lambat 6 (enam) bulan sejak tanggal diterimanya SPPT oleh wajib pajak.
Pembayaran PBB dapat dilakukan melalui bank persepsi, bank yang tercantum dalam SPPT PBB tersebut, atau melalui ATM, melalui petugas pemungut dari pemerintah daerah serta dapat juga melalui kantor pos.
A. Objek dan Subjek Pajak Bumi Dan Bangunan / PBB
Objek Pajak Bumi Dan Bangunan / PBB adalah tanah dan atau bangunan. Subjek Pajak Bumi Dan Bangunan / PBB adalah orang pribadi atau badan yang menikmati, memanfaatkan atau memiliki obyek pajak berupa tanah dan atau bangunan tersebut (Pemilik atau Penyewa).
B. Cara Pendaftaran Objek Pajak Bumi Dan Bangunan / PBB
1. Mengambil SPOP di KPBB / KPP Pratama atau di Kantor Kelurahan.
2. Mendaftarkan objek tanah dan atau bangunan dengan mengisi Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP).
3. Mengisi SPOP dengan benar dan jelas sesuai dengan sesuai kondisi objek pajak seperti luas tanah maupun luas bangunan serta komponen utama dan pendukung bangunan serta fasilitas lainnya.
4. Menyerahkan SPOP ke KPBB (Kantor Pajak Bumi dan Bangunan) / KPP Pratama tempat di mana objek pajak berada.
C. Tarif Pajak Bumi Dan Bangunan / PBB
1. 0,5% (setengah persen) sesuai Pasal 5 UU No. 12 Tahun 1994
2. Tarif efektif PBB adalah 0,1% untuk obyek yang Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) kurang dari 1 milyar dan 0,2% untuk NJOP yang nulainya lebih besar dari sama dengan 1 milyar.
Untuk menghitung nilai pajak terutang Pejak Bumi dan Bengunan / PBB dilakukan dengan cara mengalikan tarif efektif dengan nilai jual obyek pajak setelah dikurangi Nilai Jual Objek Pajak Tinak Kena Pajak (NJOPTKP).
D. Media Pemberitahuan Besar Pajak Terutang
Untuk memberitahukan besarnya pajak yang terutang terhadap suatu objek pajak diterbitkan Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) yang diterbitkan setiap satu tahun sekali pada bulan januari oleh KPPBB atau KPP Pratama. SPPT bisa diambil di Kantor Kelurahan atau langsung di KP-PBB / KPP Pratama di tempat Objek Pajak terletak.
E. Pembayaran Pajak Bumi Dan Bangunan / PBB
PBB dapat dibayar di Bank Persepsi yang berada di KPBB / KPP Pratama, 160 bank tempat pembayaran secara online seperti Bank BNI, Bank Mandiri dan Bank DKI serta melalui ATM BCA atau BII di seluruh Indonesia.
Untuk membayar PBB harus mengikuti tata cara yang ada yaitu membawa langsung SPPT PBB atau STTS tahun sebelumnya ke Bank yang dapat menerima pembayaran PBB. Bisa juga membayar PBB dengan fasilitas pembayaran melalui ATM BCA dan BII dengan memasukkan NOP dan tahun pajak. Pembayaran PBB tidak dapat dicicil atau diangsur. Setelah membayar PBB mintalah tanda bukti telah membayar lunas PBB dari Bank berupa STTS.
Menurut Undang-Undang Pasal 11 pembayaran Pajak Bumi Dan Bangunan / PBB dilakukan selambat-lambatnya 6 (enam) bulan setelah SPPT PBB diterima Wajib Pajak (WP). Untuk PBB wilayah DKI Jakarta ditetapkan paling lambat tanggal 28 agustus setiap tahunnya. Jika pembayaran PBB dilaksanakan tetapi sudah melewati batas waktu yang telah ditentukan maka akan dikenai sanksi perpajakan berupa denda administrasi.
F. Hak-Hak Yang Dimiliki Oleh Wajib PBB
1. Pengurangan Pajak Bumi Dan Bangunan / PBB
Jika wajib pajak tidak sanggup / tidak mampu membayar PBB dengan alasan seperti tidak mampu, dan lain sebagainya dapat memohon pengurangan ke KPBB atau KPP Pratama. Surat permohonan pengurangan Pajak disampaikan selambat-lambatnya 3 bulan sejak diterima SPPT PBB. Jika dalam 3 bulan sejak permohonan pengurangan diterima belum ada jawaban, maka permohonan wp dianggap diterima / dikabulkan. Permohonan pengurangan pajak bumi dan bangunan tidak mengurangi atau menunda waktu pembayaran atau pelunasan PBB.
2. Keberatan Pajak Bumi Dan Bangunan / PBB
Bila menurut wajib pajak ada yang tidak sesuai antara data seperti NJOP, luas tanah dan atau bangunan pada SPPT yang diterimanya, maka dapat mengajukan keberatan ke KP PBB atau KPP Pratama. Surat pengajuan atas keberatan wajib pajak atas SPPT yang diterima paling lambat diajukan 3 bulan sejak SPPT PBB diterima WP. KPBB / KPP Pratama memiliki batas waktu 12 bulan atas keberatan wajib pajak atas SPPT yang diterima. Jika dalam tempo 12 bulan tidak ada jawaban maka keberatan WP dianggap diterima / dikabulkan.
G. Sanksi Perpajakan Pajak Bumi Dan Bangunan / PBB
Apabila wajib pajak PBB tidak melunasi pembayaran PBB sesuai dengan batas waktu yang telah ditetapkan maka wajib pajak dapat dikenai sanksi denda administrasi sebesar 2% perbulan maksimal selama 24 bulan berturut-turut atau total denda administrasi sebesar 48%. Media pemberitahuan pajak yang terutang melewati batas waktu yang terlah ditetapkan adalah dengan Surat Tagihan Pajak (STP). Jika dalam waktu 30 hari setelah STP terbit belum ada pembayaran dari WP, maka dapat diterbitkan Surat Paksa (SP) sesuai dengan pasal 13.
ubjek dan Objek PBB
Latar Belakang
Dalam tia-tiap masyarakat, ada hubungan antara manusia dengan manusia, dan selalu ada peraturan yang mengikatnya yaitu hukum. Hukum mengatur tentang hak dan kewajiban manusia. Hak untuk memperoleh gaji / upah dari pekerjaan membawa kewajiban untuk menghasilkan atau untuk bekerja.
Demikian juga dengan pajak, hak untuk mencari dan memperoleh penghasilan sebanyak-banyaknya membawa kewajiban menyerahkan sebagian kepada negara dalam bentuk untuk membantu negara dalam meninggikan kesejahteraan umum. Begitu pula hak untuk memperoleh dan memiliki gedung, mobil dan barang lain membawa kewajiban untuk menyumbang kepada negara.
Cort Van der Linden berpendapat bahwa pajak adalah kewajiban penduduk negara untuk dapat menetap serta berusaha dalam negara itu dan memperoleh perlindungan. Jadi penduduk negara berhak untuk memperoleh perlindungan (hukum dan sosial ekonomi). Untuk itu penduduk negara berkewajiban membayar pajak kepada negara.
Berdasarkan beberapa titik masalah dan pengertian singkat tentang Pajak diatas, penulis mencoba untuk mengangkat sautu judul yaitu “ Pajak Bumi dan Bangunan “ menjadi suatu tulisan dalam bentuk makalah.
1.    Identifikasi Masalah
Dalam makalah ini penulis mengidentifikasi masalah sebagai berikut:
•    Pengertian Pajak Bumi dan Bangunan
•    Objek dari Pajak Bumi dan Bangunan
•    Subjekdari Pajak Bumi dan Bangunan
•    Wajib Pajak
•    Dasar Penghitungan PBB
•    Tempat Pembayaran PBB
1.    Batasan Masalah
Agar masalah pembahasan tidak terlalu luas dan lebih terfokus pada masalah dan tujuan dalam hal ini pembuatan makalah ini, maka dengan ini penyusun membatasi masalah hanya pada ruang lingkup Pajak Bumi dan Bangunan saja.
1.    Metode Pembahasan
Dalam hal ini penulis menggunakan:
v  Metode deskritif, sebagaimana ditunjukan oleh namanya, pembahasan ini bertujuan untuk memberikan gambaran tentang sejauhmana pengertian dari Pajak Bumi dan Bangunan tersebut (Atherton dan Klemmack: 1982).
v  Penelitian kepustakaan, yaitu Penelitian yang dilakukan melalui kepustakaan, mengumpulkan data-data dan keterangan melalui buku-buku dan bahan lainnya yang ada hubungannya dengan masalah-masalah yang diteliti.
Pembahasan
A. Pengertian Pajak Bumi dan Bangunan
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) adalah Pajak Negara yang dikenakan terhadap bumi dan/atau bangunan berdasarkan Undang-undang nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang nomor 12 Tahun 1994.
PBB adalah pajak yang bersifat kebendaan dalam arti besarnya pajak terutang ditentukan oleh keadaan objek yaitu bumi/tanah dan/atau bangunan. Keadaan subyek (siapa yang membayar) tidak ikut menentukan besarnya pajak.
Objek PBB adalah “Bumi dan/atau Bangunan”:
Bumi : Permukaan bumi (tanah dan perairan) dan tubuh bumi yang ada dibawahnya.
Contoh : sawah, ladang, kebun, tanah. pekarangan, tambang, dll.
Bangunan : Konstruksi teknik yang ditanamkan atau dilekatkan secara tetap pada tanah dan/atau perairan di wilayah Republik Indonesia.
Contoh : rumah tempat tinggal, bangunan tempat usaha, gedung bertingkat, pusat perbelanjaan, jalan tol, kolam renang, anjungan minyak lepas pantai, dll
B.       Objek Pajak
Dalam pasal 4 UU Nomor 10 tahun 1994 tentang Pajak Penghasilan tentang Objek Pajak :
Objek Pajak adalah penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun.
Karena Undang-undang ini menganut pengertian penghasilan yang luas (global income tax), maka semua jenis penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam suatu tahun pajak digabungkan untuk mendapatkan dasar pengenaan pajak. Dengan demikian, apabila dalam satu tahun pajak suatu usaha atau kegiatan menderita kerugian, maka kerugian tersebut dikompensasikan dengan penghasilan lainnya (kompensasi horizontal), kecuali kerugian yang diderita di luar negeri. Namun demikian, apabila suatu jenis penghasilan dikenakan pajak dengan tarif yang bersifat final atau dikecualikan dari Objek Pajak, maka penghasilan tersebut tidak boleh digabungkan dengan penghasilan lain yang dikenakan tarif umum.
Objek Pajak Bumi dan Bangunan ( PBB )
Objek Pajak Bumi dan Bangunan ( PBB ) adalah bumi dan atau bangunan. Objek pajak yang dikenai pajak PBB adalah objek pajak yang berupa hal-hal berikut ini.
Objek yang dikecualikan adalah objek yang :
1) Bangunan yang digunakan untuk melayani kepentingan umum seperti tempat ibadah, rumah sakit, gedung sekolah, dan tempat-tempat umum
lainnya yang tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan.
2) Kuburan, peninggalan purbakala, dan sejenisnya.
3) Hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah penggembalaan yang dikuasai oleh desa dan tanah negara yang belum dibebani suatu hak.
4) Bangunan yang digunakan oleh perwakilan diplomatik.
5) Bangunan yang digunakan oleh badan atau perwakilan organisasi internasional yang ditentukan oleh Menteri Keuangan.
C.       Subjek Pajak
Dalam pasal 2 UU Nomor 10 Tahun 1994 disebutkan secara jelas tentang Subyek Pajak :Subjek Pajak terdiri dari Subjek Pajak dalam negeri dan Subjek Pajak luar negeri.
Subjek Pajak dalam negeri adalah:
•    orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia;
•    orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan;
•    orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia;
•    warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, menggantikan yang berhak;
•    badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia.
Subjek Pajak luar negeri adalah:
•    orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia;
•    orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan;
•    badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia;
•    orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia;
•    orang pribadi yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan;
•    badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia,yang yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia bukan dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.
Pengertian badan adalah sekumpulan orang dan atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, Badan Usaha Milik Negara atau Daerah dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi yang sejenis, lembaga, bentuk usaha tetap dan bentuk badan lainnya termasuk reksadana.
Subjek Pajak Bumi dan Bangunan
Subjek pajak yang dikenai pajak PBB adalah orang atau badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas bumi dan bangunan serta memperoleh manfaat dari bangunan yang dimilikinya serta memiliki, menguasai atas suatu bangunan.
D. Wajib Pajak
Wajib Pajak adalah Subyek Pajak yang dikenakan kewajiban membayar pajak
Wajib Pajak dalam negeri:
1.    dikenakan pajak atas penghasilan baik yang diterima atau diperoleh dari Indonesia dan dari luar Indonesia;
2.    berdasarkan penghasilan neto dengan tarif umum;
3.    wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan.
Wajib Pajak Luar Negeri
Wajib Pajak Luar Negeri yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui BUT:bentuk usaha tetap/ BUT (permanent establishment) adalah bentuk usaha yang dipergunakan oleh Subjek Pajak luar negeri untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia
Pemenuhan kewajiban perpajakannya dipersamakan dengan pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak dalam negeri, namun terbatas pada penghasilan yang bersumber dari Indonesia.
Wajib Pajak luar negeri non-BUT:
1.    dikenakan pajak hanya atas penghasilan yang berasal dari sumber penghasilan di Indonesia;
2.    berdasarkan penghasilan bruto dengan tarif pajak sepadan;
3.    tidak wajib menyampaikan Surat Pemberitahuan Tahunan, karena kewajiban pajaknya dipenuhi melalui pemotongan pajak yang bersifat final.
E. Dasar Penghitungan PBB
Dasar penghitungan PBB adalah Nilai Jual Kena Pajak (NJKP).Besarnya NJKP adalah sebagai berikut :
Objek pajak perkebunan adalah 40%Ø
Objek pajak kehutanan adalah 40%Ø
Objek pajak pertambangan adalah 20%Ø
Objek pajak lainnya (pedesaan dan perkotaan):Ø
- apabila NJOP-nya > Rp1.000.000.000,00 adalah 40%
- apabila NJOP-nya < Rp1.000.000.000,00 adalah 20%
Tarif PBB
Besarnya tarif PBB adalah 0,5%
Rumus Penghitungan PBB
Rumus penghitungan PBB = Tarif x NJKP
Dengan:
2)      Nilai Jual Objek Pajak (NJOP)
NJOP adalah harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi.
3)      Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP)
Besarnya NJOPTKP ditetapkan sebesar Rp8.000.000,00. Apabila besarnya NJOP lebih kecil dari NJOPTKP maka objek pajak tersebut tidak dikenakan pajak PBB.
3) Nilai Jual Kena Pajak (NJKP)
NJKP adalah suatu persentase dari nilai jual sebenarnya (NJOKP). NJKP yang ditetapkan serendah-rendahnya 20% dan setinggi-tingginya 100% dari NJOP.
a. Jika NJKP = 40% x (NJOP – NJOPTKP) maka besarnya PBB
= 0,5% x 40% x (NJOP-NJOPTKP)
= 0,2% x (NJOP-NJOPTKP)
b. Jika NJKP = 20% x (NJOP – NJOPTKP) maka besarnya PBB
= 0,5% x 20% x (NJOP-NJOPTKP)
= 0,1% x (NJOP-NJOPTKP)
F. Tempat Pembayaran PBB
Wajib Pajak yang telah menerima Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT), Surat Ketetapan Pajak (SKP) dan Surat Tagihan Pajak (STP) dari Kantor Pelayanan PBB atau disampaikan lewat Pemerintah Daerah harus melunasinya tepat waktu pada tempat pembayaran yang telah ditunjuk dalam SPPT yaitu Bank Persepsi atau Kantor Pos dan Giro.
Saat Yang Menentukan Pajak Terutang
Saat yang menentukan pajak terutang menurut Pasal 8 ayat 2 UU PBB adalah keadaan Objek Pajak pada tanggal 1 Januari. Dengan demikian segala mutasi atau perubahan atas Objek Pajak yang terjadi setelah tanggal 1 Januari akan dikenakan pajak pada tahun berikutnya.
Contoh : A menjual tanah kepada B pada tanggal 2 Januari 1996.
Kewajiban PBB Tahun 1996 masih menjadi tanggung jawab A. Sejak Tahun Pajak 1997 kewajiban PBB menjadi tanggung jawab B.
Pajak yang terjadi setelah tanggal 1 Januari akan dikenakan pajak pada tahun berikutnya.
Kesimpulan
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) adalah Pajak Negara yang dikenakan terhadap bumi dan/atau bangunan berdasarkan Undang-undang nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang nomor 12 Tahun 1994.
Objek Pajak Bumi dan Bangunan ( PBB ) adalah bumi dan atau bangunan. Objek pajak yang dikenai pajak PBB
Subjek pajak yang dikenai pajak PBB adalah orang atau badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas bumi dan bangunan serta memperoleh manfaat dari bangunan yang dimilikinya serta memiliki, menguasai atas suatu bangunan.
Wajib Pajak adalah Subyek Pajak yang dikenakan kewajiban membayar pajak.
Rumus Penghitungan PBB
Rumus penghitungan PBB = Tarif x NJKP
Tempat pembayaran yang telah ditunjuk dalam SPPT yaitu Bank Persepsi atau Kantor Pos dan Giro.
Daftar Pustaka
- Drs. C.S.T Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta :
Balai Pustaka, 1989.
- H. Bohari, SH., M.S., Pengantar Hukum Pajak, Jakarta : P.T. Raja Grafindo
Persada, 2002.
- Prof. H. A. M. Effendy, SH., Pengantar Tata Hukum Indonesia,Semarang
:1994,
- Undang-undang Nomor 10 tahun 1994 tentang Pajak Penghasilan tentang Objek
Pajak
- Undang-undang nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan
Pajak Bumi dan Bangunan (2)
Filed under: PPB & BPHTB — Tinggalkan Komentar
Februari 4, 2010
Pajak Bumi dan Bangunan
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) adalah salah satu jenis pajak yang dikelola oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) selain Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Bea Meterai (BM) dan Bea Perolehan Hak Tas Tanah dan/atau Bangunan (BPHTB). PBB adalah termasuk jenis pajak objektif, di mana yang lebih ditekankan dalam pengenaan pajak ini adalah pada objeknya. Hal ini bisa kita lihat dari susunan pasal dalam Undang-undang Nomor 12 Tahun 1985 dan perubahannya yang menempatkan pasal tentang objek pajak lebih dahulu daripada subjeknya.
Sesuai dengan namanya, objek PBB ini adalah bumi dan/atau bangunan sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-undang PBB. Sementara itu arti bumi dan bangunan dijelaskan dalam Pasal 1 Undang-undang PBB. Yang dimaksud dengan bumi adalah permukaan bumi dan tubuh bumi yang ada di bawahnya. Permukaan bumi meliputi tanah dan perairan pedalaman serta laut wilayah Indonesia. Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah dan/atau perairan.
Yang termasuk dalam pengertian bangunan adalah :
a. jalan lingkungan yang terletak dalam suatu kompleks bangunan seperti hotel, pabrik, dan emplasemennya, dan lain-lain yang merupakan satu kesatuan dengan kompleks bangunan tersebut
b. jalan tol
c. kolam renang
d. pagar mewah
e. tempat olah raga
f. galangan kapal, dermaga
g. taman mewah
h. tempat penampungan/kilang minyak, air dan gas, pipa minyak
i. fasilitas lain yang memberikan manfaat.
Objek Pajak Tidak Dikenakan PBB
Pasal 3 Undang-undang PBB memberikan pengecualian bumi dan/atau bangunan yang tidak dikenakan PBB, yaitu objek pajak yang :
a. digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum di bidang ibadah, sosial, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan nasional, yang tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan
b. digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala, atau yang sejenis dengan itu
c. merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah penggembalaan yang dikuasai oleh desa, dan tanah negara yang belum dibebani suatu hak
d. digunakan oleh perwakilan diplomatik, konsulat berdasarkan perlakuan timbal balik
e. digunakan oleh badan atau perwakilan organisasi internasional yang ditentukan oleh Menteri Keuangan
Tags: Obyek PBB, Pajak Bumi dan Bangunan
Komentar
Pajak Bumi dan Bangunan (1)
Filed under: PPB & BPHTB — Tinggalkan Komentar
Februari 4, 2010
Pajak Bumi dan Bangunan
Syarat agar pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan atau PBB dapat dilakukan adalah adanya objek pajak dan subjek pajak.
Sekarang, yang perlu dijelaskan adalah tentang siapa subjek PBB. Dasar hukumnya adalah Pasal 4 Undang-undang Nomor 12 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1994 (selanjutnya disebut UU PBB). Point-pointnya adalah sebagai berikut :
a. Yang menjadi subyek pajak adalah orang atau badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas bumi, dan/atau memperoleh manfaat atas bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas bangunan. Subyek pajak yang dikenakan kewajiban membayar pajak menjadi Wajib Pajak berdasarkan UU PBB.
b. Dalam hal atas suatu objek pajak belum jelas diketahui Wajib Pajaknya, Direktur Jenderal Pajak dapat menetapkan subjek pajak di atas sebagai Wajib Pajak.
Contoh :
1. Subjek pajak bernama A yang memanfaatkan atau menggunakan bumi dan/atau bangunan milik orang lain bernama B bukan karena sesuatu hak berdasarkan Undang-undang atau bukan karena perjanjian maka dalam hal demikian A yang memanfaatkan atau menggunakan bumi dan/atau bangunan tersebut ditetapkan sebagai wajib pajak.
2. Suatu objek pajak yang masih dalam sengketa pemilikan di pengadilan, maka orang atau badan yang memanfaatkan atau menggunakan objek pajak tersebut ditetapkan sebagai Wajib Pajak.
3. Subjek pajak dalam waktu yang lama berada di luar wilayah letak objek pajak, sedang untuk merawat objek pajak tersebut dikuasakan kepada orang atau badan, maka orang atau badan yang diberi kuasa dapat ditunjuk sebagai Wajib Pajak.
c. Subjek pajak yang ditetapkan dapat memberikan keterangan secara tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak bahwa ia bukan Wajib Pajak terhadap objek pajak dimaksud. Bila keterangan yang diajukan oleh Wajib Pajak tersebut disetujui, maka Direktur Jenderal Pajak membatalkan penetapan sebagai Wajib Pajak dalam jangka waktu satu bulan sejak diterimanya surat keterangan dimaksud. Bila keterangan yang diajukan itu tidak disetujui, maka Direktur Jenderal Pajak mengeluarkan surat keputusan penolakan dengan disertai alasan-alasannya. Apabila setelah jangka waktu satu bulan sejak tanggal diterimanya keterangan, Direktur Jenderal Pajak tidak memberikan keputusan, maka keterangan yang diajukan itu dianggap disetujui dan Wajib Pajak berhak mendapatkan keputusan pencabutan penetapan sebagai Wajib Pajak.
Perlakuan PPh 23 atas Jasa Freight Forwarding (1)
Filed under: PAJAK DI INDONESIA, PPH — 2 Komentar
Februari 14, 2011
Perlakuan PPh 23 atas Jasa Freight Forwarding
Pasal 1 huruf c UU no.36 tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan yang disahkan tgl 23 September 2008 mewajibkan setiap perusahaan sebagai wajib pajak untuk melakukan pemotongan PPh 23 sebesar 2% dari jumlah bruto atas: sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, kecuali sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta yang telah dikenai Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2); dan imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa konstruksi, jasa konsultan, dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21. Dalam hal Wajib Pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak, besarnya tarif pemotongan adalah lebih tinggi 100% (seratus persen) daripada tarif sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
Ketentuan lebih lanjut mengenai jenis jasa lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c angka 2 diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
Menindak lanjuti ketentuan perundang-undangan diatas maka dikeluarkanlah PMK 244 tahun 2008 tentang Jenis Jasa Lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 23 Ayat (1) huruf C angka 2 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang No. 36 Tahun 2008. Melalui PMK tersebut jasa freight forwarding (Contohnya: Panalpina, Schenker,DHL Forwarder, DSV, SDV, C&P Logistic, dll) bukan merupakan objek pemotongan PPh Pasal 23.
Akan tetapi, jasa freight forwarding tidak bebas sepenuhnya dari pemotongan PPh 23, jika dalam tagihan freight forwarding terdapat unsur sewa harta dan atau jasa-jasa lain yang menjadi Objek PPh Pasal 23, maka tagihan freight forwarding dapat dipotong PPh 23.
Hal ini agar dipahami oleh seluruh procurement/logistic dalam berhubungan dengan para vendor Jasa Forwarder, karena menurut ketentuan peraturan pajak perusahaan yang menerima jasa lah yang wajib memotong PPh Pasal 23. Hal tersebut perlu dilakukan agar penerima jasa terhindar dari sanksi-sanksi perpajakan pada saat terjadi pemeriksaan pajak.
Dalam konteks ini, pihak-pihak yang berhubungan dengan jasa forwarder harus memahami apa saja jenis jasa atau services yang disediakan oleh perusahaan freight forwarder dan bagaimana cara penulisan pada kuitansi penagihan (invoicing) yang dilakukan. Karena bisa saja jasa-jasa yang tertulis di invoice tersebut merupakan objek pemotongan PPh Pasal 23.
Secara garis besar, kegiatan operasional freight forwarding mencakup kegiatan penerimaan, penyimpanan, fumigasi (penyemprotan anti hama sebelum barang dimuat dalam kontainer), sortasi, pengepakan, penandaan, pengukuran, dan penimbangan, penyimpanan. Selain itu, freight forwarder juga bertugas melakukan pengurusan penyelesaian dokumen, penerbitan dokumen, perhitungan biaya angkutan, klaim asuransi, serta penyelesaian tagihan dan biaya-biaya lainnya berkenaan dengan pengiriman barang tersebut.
Dalam praktik di lapangan, sebagian dari kegiatan-kegiatan operasional tersebut dilakukan sendiri oleh perusahaan freight forwarder (dengan menggunakan sarana dan prasarana milik sendiri atau sewaan) namun ada pula yang menggunakan jasa-jasa dari pihak ketiga yang memiliki sarana dan prasarana yang lebih lengkap dan memadai.
Untuk itu, apabila tagihan (invoice) atas imbalan kegiatan operasional tersebut dilakukan secara menyatu (misalnya dengan menuliskan imbalan jasa forwarder’s fee atau handling fee), maka seluruh imbalan atas jasa-jasa operasional tersebut semestinya tidak dipotong PPh Pasal 23.
Akan tetapi, jika tagihannya dilakukan secara terpisah (di-breakdown), dan ini yang biasanya terjadi, maka sebagian dari tagihan tersebut dapat menjadi objek pemotongan PPh Pasal 23 secara pasti, seperti jasa pengepakan atau jasa fumigasi (jasa pembasmian hama terhadap barang-barang yang akan dimasukan ke kontainer) yang ditagih secara terpisah, maka imbalan jasa tersebut akan menjadi objek pemotongan PPh Pasal 23.
Dalam praktik, memang tidak banyak perusahaan freight forwarding yang menyediakan sendiri semua jasa-jasa yang diperlukan dalam proses pengiriman barang. Oleh karena semua kegiatan tersebut membutuhkan modal yang tidak sedikit dan beberapa di antaranya membutuhkan izin usaha dan sertifikasi yang khusus seperti misalnya jasa fumigasi, jasa survey/inspeksi. Artinya, dalam hal ini perusahaan freight forwarding biasanya akan memanfaatkan pihak ketiga penyedia jasa.
Bagi penerima jasa agar terhindar dari sanksi-sanksi perpajakan, sebaiknya apabila terdapat obyek PPh Pasal 23 dalam tagihan jasa forwarding tersebut, maka pembayaran kepada vendor tersebut dipotong PPh 23. Namun jika Forwarder tersebut menolak untuk dipotong PPh 23 oleh karena mereka merasa jasa yang diberikan merupakan Jasa Freight Forwarding, maka diharuskan mereka untuk menuliskannya pada kuitansi atau Invoice (tidak di breakdown) per transaksi.
Jika keseluruhan pendekatan tidak dapat dilakukan diharapkan wajib pajak untuk mencari jasa freight forwarder yang bersedia untuk mengikuti ketentuan perpajakan di Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar